Pages

Wednesday, October 01, 2008

iedul fitri 1429H

subhanallah...

itulah satu kata yang mungkin aku ucapkan hari ini..setelah genap 30 hari melakukan shaum, hari ini hilir dari penantian panjang untuk manjadi manusia yang lebih baik pun akhirnya datang juga. Ramdhan telah bernajak pergi meninggalkan bumi dengan tangis dalam diri orang-orang yang merindukannya datang kembali, atau tawa riang pada diri orang-orang yang merasa menderita tersiksa kewajiban shaum selama 1 bulan ini. walaupun sebenarnya kabar gembira bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh menjalani perintah Allah ini untuk mencapai satu prestasi prestisius tertinggi seorang insan didunia, yaitu Taqwa.

tapi memang seringkali manusia sering berbuat hal-hal yang aneh. walaupun sudah diberikan akal, tapi sering bertindak yang tidak masuk akal. betapa tidak, malam 1 syawal yang seharusnya disemarakkan oleh taluan takbir dan lantunan tahmid dan tasbih, malah digantikan dengan letusan petasan dan kembang api. atau mengkamuflasekan arak-arakan liar dijalan-jalan membuang-buang bahan bakar kendaraan kendaraan bermotor dan ajang bermain-main dengan hal yang disebut takbiran keliling.

bukannya tidak boleh. tapi alangkah baiknya kita bisa sedikit lebih cerdas dalam melampiaskan kegembiraan. memang, iedul fithri adalah hari raya, dan secara fitrah manusia membutuhkan yang disebut hari raya atau yang sejenisnya lah. tapi coba aja bayangkan, malam yang seharusnya dilalui dengan khidmat malah jadi ajang yang berpotensi merusak.

Saturday, July 19, 2008

Merindukan Persatuan Umat

Juli 2008 sekarang. Masa kampanye untuk pemilu 2009 sudah dimulai. Setidaknya ada 34 partai yang akan bertanding memperebutkan suara terbanyak dari penduduk Indonesia yang berjumlah tidak kurang dari 220 juta orang. Sebagian ada yang merupakan partai lama peserta pemilu 2009, sebagian lagi adalah partai baru, tapi ada juga yang merupakan partai lama peserta pemilu 1999 yang tidak lolos electoral threshold pada pemilu 2004 lalu. Beragam janji-janji diberikan selama kampanye, beragam atribut dipasang di tempat-tempat umum, beragam cara dilakukan untuk meraih simpati massa. Tapi sebagian besar tidak berubah dari pola-pola lama yang dilakukan.

34 partai akan bertanding, sebagian besar menggunakan Pancasila sebagai asas partainya. Walaupun ada yang menggunakan itu sebagai topeng ideologi agar asas sebenarnya yang dibawa tidak terlalu terlihat. Entah apakah sebagai sebuah strategi pemenangan atau apa. Tapi hal demikian juga dapat dinilai sebagai ketidakberanian menunjukkan identitas partai yang sebenarnya. Tapi ada juga yang dengan tegas dan jelas menyebutkan hal lain selain pancasila sebagai asas pertainya, seperti marhaenisme dan lain sebagainya. Juga ada yang dengan tegas menyatakan Islam sebagai asas partai. Setidaknya tercatat tidak kurang dari 5 partai yang menempatkan Islam sebagai asas partai dalam pemilu 2009 ini. Jumlah yang sama dengan yang terjadi pada Pemilu 2004 lalu.

Namun entah bagaimana kita melihat hal ini, apakah sebagai sebuah kemajuan dalam kehidupan berbangsa di Negara ini, karena artinya kebebasan berpendapat dan berideologi sudah cukup terjamin, atau kemajuan dalam arti sebuah semangat keislaman yang akhirnya bisa bangkit kembali setelah sekian puluh tahun semangat itu ditindas, dipendam dan coba untuk dikubur hidup-hidup semenjak zaman pasca kemerdekaan lalu, karena sepertinya sejarah hampir tidak pernah mencatat adanya keleluasaan umat islam untuk menunjukkan jati diri keislaman yang sebenarnya melainkan akan mendapat tekanan dari pemerintah yang berkuasa, walaupun negeri ini dihuni sebagian besarnya oleh umat Islam.

Untuk hal terakhir ini, kita telah mencatat bagaimana dahulu para ulama yang berjuang habis-habisan untuk mewujudkan Indonesia merdeka kemudian harus mengalah demi persatuan bangsa dengan merelakan 7 kata tentang penerapan kewajiban bersyariat bagi umat islam dihapus dari Piagam Jakarta yang merupakan cikal bakal Pembukaan UUD 1945. Padahal semua orang harus mengakui kalau umat Islamlah yang paling berdarah-darah dalam perjuangan meraih kemerdekaan bagi Negara ini. Kemudian kita juga mencatat bagaimana kemudian partai Masyumi menjadi pertain terlarang padahal disanalah seluruh elemen umat islam untuk pertama kalinya dapat bersatu menjadi satu kekuatan politik yang tidak terpecah belah, atau kita juga masih ingat bagaimana Negara dengan populasi umat islam sebagai mayoritasnya ini melarang jilbab bagi wanita muslim di sekolah-sekolah dan di instansi-instansi Negara. –sekedar mengingat kembali apa yang pernah terjadi.

Kembali ke pembahasan di atas. Fenomena yang terjadi ini yang mulai berlangsung setelah reformasi 1998 terjadi, bagaimanapun haruslah disyukuri secara mendalam oleh kita semua. Namun kita juga harus menaggapinya secara kritis, karena bagaimanapun kita harus mengakui bahwa banyaknya partai yang berasaskan Islam adalah sebuah gambaran bagaimana umat Islam di negeri ini belum bisa untuk bersatu menjadi sebuah kekuatan yang terintegrasi. karena cukup menyedihkan bila suara umat islam yang begitu besar harus terpecah dan akhirnya tidak mendapatkan hasil yang cukup signifikan. Pemilu 1999 dan 2004 seharusnya bisa menjadi pelajaran yang cukup berharga untuk itu, bagaimana beberapa partai yang mengusung Islam sebagai asasnya tidak mendapatkan suara yang cukup untuk menempatkan wakilnya di DPR. Atau ada yang harus berkoalisi dengan partai lain untuk bisa meraih suara minimum, walaupun disini juga bisa menjadi gambaran kecil bukti bahwa memang umat Islam di Indonesia belum bisa bersatu, karena partai-partai yang memiliki perolehan suara kecil tersebut ternyata lebih memilih untuk ber-stembush accord dengan partai yang bukan partai Islam.

Boleh jadi penantian tentang persatuan umat ini telah dirindukan oleh banyak orang, begitu pun dengan para ulama dan tokoh-tokoh islam di negeri ini. Kesadaran bahwa satu-satunya cara untuk dapat mengembalikan kembali kejayaan umat islam adalah dengan persatuan umat telah dimiliki oleh para tokoh tersebut. Namun entah mengapa, rasanya persatuan adalah sesuatu hal yang sangat sulit diraih. Ketika dahulu kita begitu merasakan persaingan yang terjadi antara dua organisasi islam terbesar di Negara ini yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, seakan-akan umat Islam Indonesia terpecah dalam dua wilayah besar, yang satu sama lain saling berebut pengaruh. Namun hal itu adalah masa lalu, toh kenyataannya para petinggi kedua organisasi tersebut pada akhirnya dapat bersepakat untuk saling bersinergis, sebuah anugerah besar bagi bangsa ini hal tersebut dapat terjadi. Satu persoalan selesai. Tapi belum semua persoalan selesai, kapankah semua elemen yang mengaku berjuang untuk menegakkan agama Allah yang mulia ini akan menyatukan langkah kaki dan mau untuk berdiri bersama bergerak dalam satu visi dan misi untuk mencapai Indonesia yang makmur dan sejahtera?

Mungkin benar, sesuatu yang besar dan sangat berharga haruslah diraih dengan harga yang mahal. Begitu juga dengan kejayaan umat Islam, hal berharga yang butuh bayaran mahal berupa persatuan umat.

Tuesday, April 01, 2008

Sepinya Shaff-Shaff Shubuh dan Fenomena Terpuruknya Kondisi Umat

“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Shubuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya sekalipun dengan merangkak.”

(H.R. Bukhari dan Muslim)

Umat Islam saat ini bagaikan buih di lautan, jumlahnya besar, tapi tidak punya kekuatan, akan hancur ketika menyentuh karang. Seakan-akan telah menjadi kenyataan apa yang Rasulullah katakan dahulu, bahwa akan tiba sebuah zaman dimana umat islam bagaikan hidangan yang dikelilingi oleh orang-orang yang kelaparan, bukan karena jumlahnya yang sedikit, tapi karena penyakit wahn yang telah mewabah di sekujur tubuh umat ini.

Cinta dunia dan takut mati seakan-akan telah manjadi bagian dari model alam bawah sadar sebagian besar dari umat islam di zaman ini. Gaya hidup hedonis, merasa bangga ketika bisa mengekor budaya kafir, senantiasa mengejar kenikmatan dunia walau dengan cara-cara yang haram adalah sebuah keseharian yang tidak lagi aneh terjadi di masyarakat yang mayoritasnya adalah umat Islam. Maka tidak heran bila segala kecelakaan dan kenistaan menghinggapi umat islam sekarang ini. Hampir dimanapun ketika umat islam menjadi minoritas, maka yang mereka alami adalah penindasan. Kondisi umat yang seperti ini benar-benar membuat hati pilu.

Apabila kita bertanya, mengapa kondisi umat saat ini bisa seterpuruk ini? boleh jadi banyak jawaban yang dapat dikemukakan, dari mulai banyaknya umat islam yang tidak lagi mengamalkan ajaran islam dengan benar, atau banyaknya yang melalaikan syariat Allah. Namun satu hal yang menarik adalah, terpuruknya kondisi umat saat ini dapat terlihat dari shaff-shaff shubuh umat ini sekarang. Seakan-akan jama’ah shalat shubuh di masjid-masjid menjadi indikator akan kondisi umat dimanapun dan kapanpun.

Lalu bagaimana jama’ah shalat shubuh dapat menjadi indikator akan kondisi umat islam secara umum?

Shalat Shubuh, sebagai shalat yang berada di antara 2 waktu istimewa yaitu waktu sepertiga malam terakhir dan waktu terbitnya fajar, memiliki nilai tersendiri bagi umat Islam. Secara filosofis pun waktu shubuh merupakan awalan bagi aktivitas sebagian besar manusia. sebagimana telah Allah tetapkan bahwa siang hari adalah waktu bagi manusia untuk mencari penghidupan dan waktu malam adalah waktu untuk beristirahat (QS 25:47). Begitu banyak keutamaan yang telah Allah tetapkan pada waktu-waktu tersebut. Dalam sebuah hadits, Rasulullah mengatakan:

“Allah akan turun ke langit bumi pada setiap malam, ketika malam tinggal sepertiga yang terakhir. Dia berkata, ‘Mana hamba-ku yang berdo’a, untuk aku kabulkan (do’anya)?mana hamba-Ku yang meminta kepada-ku, untuk Aku penuhi (permintaannya)? Mana hamba-Ku yang beristighfar, untuk Aku ampuni (dosanya)?’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitulah bahwa shalat shubuh adalah shalat fardhu yang berada di akhir malam. Hingga shalat sunnah fajr yang merupakan sunnah rawatib dari shalat subuh setara dengan shalat qiyamullail sepanjang malam. Begitupun shalat shubuh itu sendiri, yang memiliki keutamaan yang besar seperti yang dijelaskan pada hadits berikut:

“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sangat terang pada hari kiamat”. (HR. Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Ada 2 shalat dimana dilakukan pada waktu malam hari (waktu dimana hari dalam keadaan gelap) yaitu shalat isya’ dan shubuh.

Begitu besarnya keistimewaan yang terdapat pada shaff-shaff shalat shubuh di masjid-masjid. Namun kemudian Allah pun menetapkan bahwa tidak semua orang memahami keistimewaan-keistimewaan tersebut. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim:

“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Shubuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya sekalipun dengan merangkak.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Bahwa shalat shubuh dengan berbagai keutamaannya menjadi pembuktian atas keimanan seseorang. Karena hanya orang-orang yang benar-benar beriman saja yang akan merasa ringan untuk mendatangi jama’ah shalat shubuh di masjid. Hal ini merupakan gambaran bahwa shalat subuh menjadi salah satu ujian keimanan bagi seseorang yang mengatakan dirinya beriman, karena akan berbeda orang yang beriman dan orang yang munafik, dan hanya yang mampu melewati ujian tersebut yang akan dapat meraih kejayaan di akhirnya.

Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Kaifa Nuhafidzu ‘Alash Shalatil Fajri mengatakan :

“Shalat shubuh memang shalat wajib yang paling sedikit jumlah rakaatnya; hanya dua rekaat saja. Namun, ia menjadi standar keimanan seseorang dan ujian terhadap kejujuran, karena waktunya sangat sempit.”

Dari hal diatas, dapat terlihat korelasi yang erat antara shaff-shaff shalat subuh yang sepi dan kondisi umat islam yang terpuruk seperti saat ini. Sepinya shaff-shaff shalat shubuh menggambarkan betapa rapuhnya keimanan sebagian besar umat islam sekarang ini. Hanya di sebagian kecil wilayah saja dimana shalat shubuh berjamaah ramai didatangi orang. Bahkan di negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia, Indonesia, jarang sekali kita dapat melihat jama’ah shalat shubuh yang ramai.

Padahal para shalafushshalih dahulu begitu menilai tinggi shalat shubuh ini. Tergambar dari betapa menyesalnya Anas bin Malik yang pernah sekali waktu terlewat shalat shubuh pada waktunya karena sedang berperang merebut benteng tastar bersama pasukan muslim lainnya, padahal Allah telah mengampuni mereka. Kesedihan dan penyesalan akan hal tersebut terungkap dari mulut sang Sahabat tersebut:

“Buat apa Tastar?sungguh shalat shubuh telah berlalu dariku. Sepanjang usia, aku tidak akan bahagia seandainya dunia diberikan kepadaku sebagai ganti shalat ini!”.

Boleh jadi meremaikan jama’ah shubuh bukanlah satunya-satunya cara untuk mengembalikan kejayaan umat, karena memang demikian. Tapi jama’ah shalat shubuh adalah indikator dari kondisi keimanan dari umat ini. Apakah umat ini dipenuhi oleh orang-orang yang benar-benar cinta kepada Allah dan syurgaNya, ataukah dipenuhi oleh orang-orang munafik yang hanya mengaku beriman, tapi lebih senang berselimut di tempat tidurnya dari pada pahala yang besar sebagai ganjaran usahanya. Allahu a’lam bi Showab.

Author:

F. Rachmat Kautsar

rachmat_kautsar@yahoo.com

fitrah.rachmat.kautsar@gmail.com